Indonesia dan Tantangan Bonus Demografi : Antara Peluang dan Ancaman

Oleh: Leriadi, Mahasiswa Pascasarjana UNAS Jakarta mengenakan baju kemeja didampingi Ceo harian24news.id Siswanto Ihsan SE. (harian24news.id/Ist)

Jakarta, harian24news.id-
1.Konteks: Bonus Demografi Indonesia (2020–2045)
• Indonesia saat ini berada pada puncak bonus demografi, di mana sekitar 70% penduduk berusia produktif (15–64 tahun).
• Ini berarti lebih banyak tenaga kerja dibandingkan tanggungan (anak-anak dan lansia) — kondisi ideal untuk pertumbuhan ekonomi cepat.

• Namun, bonus ini tidak otomatis membawa kemakmuran. Ia bisa menjadi berkah jika terserap produktif, atau bencana sosial jika tidak terserap.

2.Tantangan Ekonomi Utama: Pertumbuhan Harus Lebih Tinggi
• Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 5%, sementara pertumbuhan angkatan kerja sekitar 2% per tahun.
• Berdasarkan perhitungan Bappenas dan Bank Dunia, agar bisa menyerap tambahan tenaga kerja secara optimal, Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi minimal 6,5–7% per tahun.

• Artinya, pertumbuhan 5% tidak cukup — karena sebagian besar lapangan kerja baru yang tercipta bersifat informal, berupah rendah, dan tidak stabil.

Fakta 2024:
• Tingkat pengangguran terbuka: 5,3% (BPS, Agustus 2024) → sekitar 7,6 juta orang.
• Jika termasuk setengah penganggur dan pekerja informal, “underemployment” bisa mencapai 30 juta orang.
• Mayoritas penganggur berasal dari generasi milenial (lahir 1981–1996) dan generasi Z (lahir 1997–2012).

3.Dampak Sosial dan Politik Jika Tidak Terserap
• Frustrasi generasi muda: lulusan universitas dan SMK meningkat pesat, tetapi lapangan kerja berkualitas tidak tumbuh sepadan.

Menimbulkan discrepancy between education and opportunity.
• Ledakan pekerja informal digital (ojek online, reseller, freelancer) tanpa perlindungan sosial → menciptakan ketimpangan baru antara “digital underclass” dan elite digital.

• Risiko sosial politik meningkat:
• Ketidakpuasan bisa bermetamorfosis menjadi radikalisasi ideologis, gerakan populis, atau ledakan protes spontan.
• Sejarah menunjukkan — seperti di Timur Tengah (Arab Spring) atau Sri Lanka — pengangguran muda adalah faktor pemicu instabilitas politik yang sangat kuat.
• Indonesia punya karakter sosial yang ekspresif dan mudah termobilisasi melalui media sosial — frustrasi ekonomi bisa cepat berubah menjadi mobilisasi politik.

4.Implikasi terhadap Stabilitas Politik Nasional
• Generasi muda Indonesia saat ini lebih kritis, egaliter, dan sensitif terhadap keadilan sosial.

Mereka menolak “status quo” birokratis dan sistem politik yang dianggap tertutup.
• Bila mereka merasa sistem tidak memberi ruang, mereka bisa mendorong politik jalanan, gerakan sosial horizontal, atau bahkan ketidakpercayaan terhadap lembaga formal.

• Karena itu, menjaga kestabilan politik di era bonus demografi sangat bergantung pada ekonomi yang inklusif dan meritokratik.

5.Strategi yang Diperlukan

Untuk mengubah “bom waktu demografi” menjadi “mesin kemakmuran” perlu strategi lintas sektor:

*Bidang *: Ekonomi & Industri
*Strategi Kunci*: Industrialisasi padat karya berbasis teknologi menengah (manufacturing, agroindustri, digital service). Fokus pada job creation bukan hanya growth creation.

*Bidang*: Pendidikan & SDM
*Strategi Kunci* : Transformasi pendidikan vokasi dan politeknik menjadi demand-driven, bukan sekadar supply akademik.

*Bidang *: Kewirausahaan Muda
*Strategi Kunci*: Akses permodalan, pelatihan bisnis digital, dan insentif bagi startup berbasis teknologi dan pertanian modern.

*Bidang* : Reformasi Pasar Kerja
Strategi Kunci : Deregulasi yang memudahkan mobilitas kerja antar-sektor, namun tetap memberi perlindungan sosial minimum.

*Bidang*: Reformasi Birokrasi & Politik
*Strategi Kunci*: Pemerintahan harus menunjukkan meritokrasi — agar generasi muda merasa sistem memberi peluang berdasarkan kompetensi, bukan koneksi.

6. Kesimpulan Strategis

Bonus demografi bukan sekadar peluang statistik ia adalah ujian kepemimpinan nasional dalam membuat kebijakan strategis.

Jika pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja bermartabat bagi generasi muda, maka bonus ini berubah menjadi “demographic liability” — beban sosial dan politik yang berpotensi mengguncang stabilitas nasional. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *