Garibaldi “ Kapal yang Lebih Banyak Membakar Uang daripada Bahan Bakar

Oleh: Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H.
Mantan Kepala Kamar Mesin KRI Badik dan KRI Keris, pengguna mesin pendorong Gas Turbin LM2500. (harian24news.id/Ist)

Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 80.000 kilometer dan terdiri atas lebih dari 17.000 pulau. Kondisi geografis ini menuntut kapal patroli cepat dan efisien untuk menjaga kedaulatan dan menegakkan hukum di wilayah laut.

Dalam konteks tersebut, keputusan untuk mengoperasikan atau membeli kapal induk besar seperti Giuseppe Garibaldi-class—kapal induk buatan Italia berbobot sekitar 13.000 ton—dinilai tidak sejalan dengan kebutuhan operasional, geografis, dan ekonomi Indonesia.

Kapal ini awalnya dirancang untuk iklim subtropis Mediterania, berfungsi sebagai platform operasi udara (V/STOL) dan komando laut jauh dalam lingkungan strategis yang stabil secara logistik dan dekat pangkalan darat. Namun, di perairan tropis Indonesia yang memiliki kondisi laut, suhu, dan infrastruktur logistik berbeda, kapal ini justru menjadi liabilitas anggaran dan beban operasional, bukan kekuatan strategis yang efisien.

Spesifikasi Teknis dan Fakta Operasional

Garibaldi-class menggunakan empat turbin gas General Electric LM2500 sebagai penggerak utama, dengan daya maksimum sekitar 60 MW (81.000 hp). Konsumsi bahan bakar spesifik (Specific Fuel Consumption / SFC) mesin LM2500 adalah 0,227 kg/kWh (227 gram bahan bakar per kilowatt-jam).

Dengan hukum daya kubik (P ∝ v³), kebutuhan energi meningkat tajam seiring kenaikan kecepatan. Pada kondisi tropis (+15% konsumsi karena efisiensi menurun akibat suhu dan kelembapan tinggi), konsumsi bahan bakar dan biayanya adalah sebagai berikut:

Per Hari:

Kecepatan BBM per Jam BBM per 24 Jam Biaya BBM (Rp 15.600/l)
10 knot 2.273 liter 54.552 liter Rp 851 juta
15 knot 6.145 liter 147.480 liter Rp 2,30 miliar
20 knot 14.581 liter 349.944 liter Rp 5,47 miliar

Per Bulan (720 jam operasi):

Kecepatan Konsumsi BBM / Bulan Biaya / Bulan
10 knot 1.636.560 liter Rp 25,53 miliar
15 knot 4.424.400 liter Rp 68,22 miliar
20 knot 10.498.320 liter Rp 163,77 miliar

Per Tahun (12 bulan):

Kecepatan Konsumsi BBM / Tahun Biaya BBM / Tahun
10 knot 19,64 juta liter Rp 306 miliar
15 knot 53,09 juta liter Rp 828 miliar
20 knot 126 juta liter Rp 1,97 triliun
Analisis Ekonomi dan Perbandingan

Biaya bahan bakar tahunan Garibaldi-class dibandingkan dengan harga kapal perang berukuran 50 meter (kelas Offshore Patrol Vessel / OPV) menunjukkan ketidakefisienannya:

Jenis Kapal 50 m Harga (USD) Estimasi Rupiah
Patroli ringan (sipil modifikasi) 3–5 juta Rp 48–80 miliar
OPV ringan baru 10–20 juta Rp 160–320 miliar
Korvet ringan (lengkap senjata & sensor) 20–50 juta Rp 320–800 miliar.

Biaya BBM Garibaldi per tahun pada kecepatan 15 knot (Rp 828 miliar) setara dengan harga satu kapal perang baru 50 meter kelas OPV. Pada kecepatan 20 knot, biayanya mencapai Rp 1,97 triliun—setara dua hingga empat kapal perang baru.

Ini baru biaya BBM; belum termasuk pelumas (10–15% dari BBM), cat, tali-temali, dan perawatan lain.

Faktor Teknis dan Lingkungan Tropis

Kapal Garibaldi dirancang untuk suhu sedang (15–25°C). Di wilayah tropis Indonesia:

Temperatur tinggi (30–35°C) menurunkan efisiensi turbin gas 10–15%.

Kelembapan tinggi memperburuk pembakaran udara-bahan bakar.

Biofouling cepat di lambung menaikkan tahanan gesek air, meningkatkan konsumsi BBM.

Jaringan logistik bahan bakar belum mendukung operasi kapal besar di luar pangkalan utama (Surabaya, Belawan, Sorong).

Kapal besar berbasis gas-turbin tidak efisien untuk patroli jarak pendek atau pengawasan perbatasan. Desain semacam ini lebih cocok untuk naval power projection di lautan terbuka, bukan maritime policing di ALKI I, II, III.

Kesalahan Strategis dalam Perspektif Nasional

Pembelian Garibaldi-class menunjukkan ketidakselarasan strategi pertahanan maritim dengan kebutuhan nyata:

Indonesia memerlukan kapal patroli cepat, korvet ringan, dan kapal serbaguna dengan endurance sedang, bukan kapal induk besar.

Garibaldi-class:

Biaya operasional tahunan ~Rp 1 triliun

Tidak efektif di perairan dangkal dan sempit

Bergantung penuh pada dukungan logistik besar

Tidak relevan untuk menjaga ALKI, ZEE, dan perairan yurisdiksi nasional

Kesalahan konseptual utama:

Simbol kekuatan tidak sejalan dengan kebutuhan: Indonesia bukan blue-water navy seperti AS atau Inggris. Dibutuhkan armada cepat dan efisien, bukan proyeksi jarak jauh mahal.

Desain untuk Mediterania, bukan Nusantara: Sistem logistik Italia lengkap; Indonesia belum siap. Suhu tinggi dan kelembapan menurunkan efisiensi mesin hingga 15%.

Infrastruktur dan rantai pasok tidak siap: Dermaga dalam, fasilitas bunkering cepat, teknisi bersertifikasi NATO belum tersedia. Kapal besar seperti ini bisa menjadi “museum terapung” yang indah tapi jarang berlayar.

Bertentangan dengan doktrin Sishankamrata: Kekuatan harus defensif, berlapis, dan merata, bukan tersentralisasi pada satu simbol kekuatan.

Tidak seimbang dengan ancaman nyata: Ancaman utama bukan armada asing raksasa, melainkan penyelundupan, penangkapan ikan ilegal, pelanggaran batas laut, dan bencana alam. Garibaldi terlalu mahal dan lambat untuk fungsi tersebut.

Biaya tinggi, manfaat rendah: Satu kapal patroli cepat diesel-electric (~1.000 ton) hanya membutuhkan sepersepuluh biaya Garibaldi dan dapat bertugas lebih lama.

Teknologi lama di era drone dan cyber: Sistem radar, komunikasi, dan pertahanan udara sudah usang. Ancaman modern berasal dari drone, rudal hipersonik, dan perang elektronik.

Jalan yang Lebih Rasional

Indonesia lebih membutuhkan:

Kapal serbu amfibi (LHD) berbasis CODAG/diesel-electric, mampu membawa helikopter, UAV, dan pasukan marinir

Kapal komando gabungan ALKI II dengan sistem C4ISR

Kapal patroli jarak jauh (OPV) dan drone laut

Kapal-kapal ini efisien, tahan lama, mudah dirawat, dan sesuai karakter geografi Indonesia.

Penutup: Antara Gengsi dan Realitas

Mengoperasikan kapal seperti Garibaldi di Indonesia sama seperti memakai jas Eropa di tengah tropis Nusantara — tampak berkelas, tetapi tidak sesuai kebutuhan.

Bangsa yang besar bukan yang memiliki kapal terbesar, tetapi yang mampu menyeimbangkan kekuatan, kebutuhan, dan kemampuan nasional. Indonesia tidak perlu menjadi Italia di Asia; cukup menjadi negara maritim yang kuat, efisien, dan bijaksana.

Kesimpulan

Garibaldi-class bukan simbol kekuatan, melainkan simbol kesalahan strategi maritim.

Biaya bahan bakar tahunan mampu membiayai satu hingga empat kapal patroli baru.

Strategi maritim Indonesia seharusnya fokus pada efisiensi, daya sebar, dan keberlanjutan operasional.

Kekuatan laut modern diukur dari kemampuan menjaga laut secara menyeluruh dan berkelanjutan, bukan dari ukuran kapal. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *