Rekam Jejak Demer dalam Proyek APD: Dugaan Dolus Eventualis dan Pelanggaran Etik dalam Pengadaan 3 Triliun

Jakarta, harian24news.id- Nama Gde Sumarjaya Linggih alias Demer kembali menjadi perhatian publik setelah terungkap keterlibatannya dalam struktur manajemen PT Energi Kita Indonesia (PT EKI), perusahaan yang mendapatkan kontrak pengadaan 5 juta set alat pelindung diri (APD) melalui penunjukan langsung (PL) dari negara senilai lebih dari Rp3.030 triliun di awal pandemi COVID-19.

Keterlibatan tersebut menjadi sorotan bukan hanya karena pada waktu itu posisinya sebagai komisaris, tetapi juga karena statusnya sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, yang secara fungsional memiliki mandat konstitusional untuk mengawasi sektor perdagangan dan pengadaan barang dan jasa pemerintah, termasuk kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMN maupun perusahaan swasta mitra pemerintah.

Informasi dari dokumen hukum yang diterbitkan Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan bahwa Demer diangkat sebagai Komisaris PT EKI pada 30 Maret 2020. Fakta ini menjadi sangat relevan karena hanya tujuh hari sebelumnya, pada 23 Maret 2020, informasinya PT EKI telah menandatangani kontrak pengadaan APD dan dua hari kemudian pembayaran dari negara dicairkan. Pengangkatan Demer setelah kontrak diteken dan dana cair, menimbulkan pertanyaan: apakah penempatan itu hanya formalitas administratif, atau merupakan bentuk pembagian peran dan pengaruh pasca proyek, atau sebagai tanda terima kasih ?
Menurut Sekjen Garda Tipikor Indonesia (GTI), Deri Hartono, rangkaian peristiwa tersebut tidak bisa dianggap kebetulan administratif semata.

“Ini bukan hanya perkara etika, tetapi soal integritas kekuasaan dan relasi patronase dalam proyek negara. Seorang wakil rakyat tidak bisa sekaligus menjadi bagian dari perusahaan yang menerima proyek dari pemerintah yang sedang diawasi oleh komisinya sendiri. Itu logika dasarnya,” tegas Deri, kepada JurnalPatroliNews, Sabtu (12/7/2025).

Lebih problematik lagi menurut pemberitaan, PT EKI bukan perusahaan dengan rekam jejak atau izin resmi sebagai penyedia alat kesehatan. Tidak tercatat adanya izin penyalur alat kesehatan (IPAK), perusahaan belum menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan tidak memiliki infrastruktur distribusi medis. Namun justru perusahaan ini mendapatkan proyek besar berskala nasional dalam situasi darurat kesehatan. Situasi ini menjadi paradoks besar ketika diketahui bahwa Demer, sebagai Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, memiliki peran mengawasi “sektor” tempat perusahaan ini beroperasi. Dalam kondisi ini, ia berada dalam posisi yang sangat sensitif disatu sisi berperan sebagai pengawas, namun disisi lain juga sekaligus sebagai bagian dari perusahaan yang anggaran barang perdagangannya berasal dari pemerintah yang juga seharusnya diawasi.

“Yang harus diungkap adalah motif dan konstruksi hukumnya,” ujar Deri. “Kalau tahu bahwa perusahaannya tidak punya izin di bidang APD, dan tahu bahwa ini pengadaan dari negara, maka tidak adanya upaya untuk membatalkan justru menunjukkan adanya unsur kesengajaan. Di sini bisa dibuktikan pola dolus eventualis dalam makna kesengajaan yang dibungkus pembiaran,” tambahnya.

Dalam aspek hukum administrasi, tindakan yang dilakukan Demer berpotensi dapat dikualifikasikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan tegas mensyaratkan bahwa setiap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan harus berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), salah satunya adalah Asas Ketidakberpihakan. Ketika seorang pejabat publik merangkap sebagai bagian dari korporasi yang menerima proyek dari negara tanpa proses pencegahan atau klarifikasi, maka ia berpotensi mencampuradukkan kewenangan publik dan privat. Hal ini masuk dalam kualifikasi penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) jo. Pasal 18 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan, yang menyebut penyalahgunaan dapat terjadi ketika kewenangan digunakan di luar tujuan, atau dicampuradukkan demi keuntungan pihak tertentu.

Dari perspektif etika parlemen, Demer juga berpotensi melanggar Pasal 3 ayat (1) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik, yang mewajibkan setiap anggota DPR untuk menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR, baik di dalam maupun di luar gedung DPR, menurut norma dan etika yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Geri, dalam kondisi bencana nasional seperti pandemi COVID-19, dugaan pelanggaran etika semacam ini menjadi sangat serius karena masyarakat menaruh harapan pada wakil rakyat untuk menjaga integritas, bukan memperluas mengarah seperti kepentingan bisnis kelompok dan keluarga.

“menurut saya DPR berperan sebagai lembaga pengawas sistem pemerintahan Indonesia untuk memastikan pelaksanaan undang-undang dan kebijakan sesuai dengan kehendak rakyat, karenanya lembaganya bermartabat dan terhormat mewakili kepentingan rakyat. Kalau ada anggotanya yang etikanya runtuh untuk sebuah kepentingan yang mengarah pada keuntungan kelompok di atas penderitaan rakyat karena keadaan wabah covid yang meluas, sehingga berpotensi dapat dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat, maka kepercayaan rakyatpun terhadap citra dan kehormatan institusinya juga dapat ikut jatuh,” kata Deri.

Dalam kerangka pertimbangan hukum pidana, menurutnya tindakan pembiaran terhadap kontrak yang melibatkan perusahaan tidak layak, dengan posisi yang strategis namun tidak mencegahnya atau menanggulanginya, berpotensi dikonstruksikan sebagai “dolus eventualis”, yaitu bentuk kesengajaan yang terjadi saat seseorang tahu dampak perbuatannya bisa menimbulkan akibat hukum, namun tetap membiarkannya. Oleh karena itu, menurut pandangan Deri, perbuatan Demer berpotensi dapat dikaitkan dengan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 KUHP atau Pasal 56 KUHP, yang mengatur tentang penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan menyebabkan kerugian keuangan negara.
Kini publik menantikan keseriusan Aparat Penegak Hukum (APH) termasuk Kejaksaan dan KPK, untuk menelusuri keterlibatan yang tidak terlihat di permukaan.

“APH ditantang seberapa serius mengusut praktik yang berpotensi mengarah pada dolus eventualis seperti ini. Jangan hanya yang mengambil uang tunai yang diproses, tapi juga potensi yang mengambil posisi untuk mengamankan jalur distribusi proyek,” seru Deri.

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI juga ditantang untuk tidak bersikap pasif. Dalam perkara yang mengandung dimensi konflik kepentingan, dugaan penyalahgunaan jabatan, dan praktik nepotisme dalam proyek negara, MKD wajib menilai sejauh mana etika pejabat publik dijalankan secara konsisten. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya kredibilitas individu, melainkan nama baik parlemen di hadapan rakyat.

Seluruh rangkaian ini pun menjadi barometer awal bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang sejak awal telah menggagas dan berkomitmen menjalankan program besar bersih-bersih terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

“Kalau bersih-bersih itu serius, maka kasus Demer seharusnya pemeriksaan/klarifikasi jadi pintu pertama untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang kebal hukum,” pungkas Deri. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *