Teks. Foto: Kepala Inspektorat Provinsi Sumatera Utara, OK Henry, angkat suara mengenai cara kerja penanganan perkara oleh Kejari di wilayah Sumut. (harian24news.id/Ist)
Medan, harian24news.id-Target kinerja yang dicanangkan Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin terbilang ambisius. Dari percepatan pemberantasan korupsi, pemulihan aset negara hingga pengawalan proyek strategis nasional, semuanya menunjukkan komitmen besar dalam penegakan hukum.
Menurut mantan auditor di Sumatera Utara, OK Henry, sayangnya di balik ambisi tersebut, muncul pula kekhawatiran di daerah, khususnya dalam cara Kejaksaan Negeri (Kejari) menangani perkara.
“Belakangan, banyak Kejari gencar mengekspos perkara yang dianggap menimbulkan kerugian negara. Mulai dari pencairan uang muka proyek yang tidak sesuai, dugaan tumpang tindih pekerjaan infrastruktur, hingga keterlambatan adendum kontrak,” ucapnya lewat pernyataan tertulis yang dikutip media, Senin, 8 September 2025.
Sebagai auditor, memahami bahwa temuan semacam ini biasanya bersumber dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau audit internal. Tetapi perlu dicatat: tidak semua temuan audit otomatis menjadi kerugian negara nyata. Banyak yang sekadar potential loss atau kesalahan administratif.
Contoh yang sering terjadi di daerah antara lain, sebut OK Henry, pekerjaan tumpang tindih (double project). Persoalan ini semestinya dapat diselesaikan lewat mekanisme kontraktual atau sanksi administratif, bukan dipaksa menjadi perkara korupsi.
Kemudian kasus lebih bayar berdasarkan LHP BPK. Dalam praktik audit, selisih kecil biasanya dapat diselesaikan dengan pengembalian, kwitansi bermaterai, atau SPTJM. Tetapi di beberapa Kejari, justru dijadikan pintu masuk pidana.
“Dalam kondisi seperti ini, terlihat kecenderungan Kejari lebih mengejar ekspos perkara ketimbang mempertimbangkan proporsionalitas kerugian dengan manfaat proyek,” ujar Kepala Inspektorat Provinsi Sumut 2016-2019 tersebut.
Tergerus
Lebih lanjut dikatakan OK Henry, asas praduga tak bersalah adalah pondasi hukum pidana: setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sayangnya, praktik di lapangan kerap berbeda.
“Begitu ada konferensi pers atau ekspose dari Kejari, opini publik langsung terbentuk. Tersangka seakan-akan sudah pasti bersalah, padahal kerugian negara masih bersifat potensi atau bahkan sudah dikembalikan,” ujarnya.
Dampaknya, pejabat maupun kontraktor yang seharusnya menunggu proses hukum objektif justru kehilangan reputasi, usaha, bahkan masa depan, hanya karena label “tersangka”. Publikasi berlebihan tanpa keseimbangan data bisa berubah menjadi kriminalisasi psikologis dan pelanggaran hak konstitusional.
Dalam tata kelola keuangan negara, imbuhnya audit seharusnya berfungsi sebagai alat koreksi, bukan semata pintu masuk pidana. Bila setiap temuan audit diperlakukan sebagai kerugian negara absolut, maka fungsi pembinaan dan perbaikan akan hilang.
“Target besar Jaksa Agung tentu perlu diapresiasi. Namun, Kejari sebagai ujung tombak penegakan hukum di daerah seharusnya menegakkan prinsip ultimum remedium — menjadikan pidana sebagai jalan terakhir. Bila kerugian sudah dikembalikan, atau masalah sebatas administratif, maka penyelesaian administratiflah yang harus didahulukan,” terang mantan Ketua Inspektur se-Indonesia tersebut.
Sebagai penutup, OK Henry menyimpulkan bahwa target kinerja kejaksaan hanya akan bermakna bila diiringi dengan penegakan hukum yang adil, proporsional, dan menghargai itikad baik. Kejari tidak boleh terjebak dalam logika angka perkara semata, melainkan harus menegakkan substansi hukum: apakah benar ada pihak yang diperkaya secara melawan hukum, atau sekadar terjadi kesalahan administratif yang telah diperbaiki.
“Sebagai mantan auditor, saya menegaskan kembali: asas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi. Tanpa itu, penegakan hukum berisiko bergeser dari mencari kebenaran menjadi sekadar mengejar sensasi. Padahal, keadilan sejati hanya akan lahir bila hukum ditegakkan dengan integritas dan kehati-hatian. Apalagi Presiden Prabowo Subianto telah memisahkan kementerian hukum dan HAM, yang artinya menurut saya beliau sangat serius dalam mewujudkan cita-cita Indonesia adil dan makmur,” pungkasnya. (**)